Senin, 08 April 2013

Bermewah Mewah Dalam Islam, Haramkah?

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 




Kalau kita cermati lebih dalam, apa yang disebut sebagai kemewahan itu agak relatif juga. Maksudnya, tidak mentang-mentang harga suatu barang itu mahal, lantas bisa disebut mewah.

Relativias Kemewahan

Pakaian yang mahal biasanya memang lebih kuat dan lebih baik kualitasnya. Namun kalau kita bicara harga, kadang yang membuatnya menjadi mahal bukan semata karena kualitas bahan dan kerapihan jahitan. Kadang mode dan perancang busana ikut memperngaruhi harga, apalagi kalau produksinya masuk kategori terbatas (limited edition).

Pakaian yang dibilang mewah itu sebenarnya biasa-biasa saja, kalau melihatnya dari kalangan yang sekelas dan sama-sama penggemar. Namun akan menjadi sangat mewah ketika melihatnya dari sudut pandang orang kebanyakan.



Demikian juga halnya dengan kendaraan, kadang yang disebut mewah itu biasa saja, kalau melihatnya dari sesama pengguna atau kolektor mobil mewah juga. Namun kalau melihatnya dari kelas yang lebih bawah, atau justru dari kalangan yang tidak punya mobil sama sekali, jadilah barang mewah.

Jam tangan yang harganya 70 juta itu boleh jadi hanya jam tangan biasa saja, kalau lingkungan pergaulannya sesama kolektor jam mahal. Tetapi jam itu akan jadi barang terlalu mewah kalau melihatnya dari kelas yang paling bawah.

Zaman saya masih kecil, yang namanya makan daging ayam itu jarang-jarang terjadi. Harus menunggu ada perayaan dulu, baru bisa ketemu daging ayam. Tetapi zaman berubah, apa yang dulu dianggap kemewahan, hari ini menjadi suatu yang biasa-biasa saja. Mungkin karena ayam broiler bisa diproduksi (diternakkan) secara masal, hingga harganya jadi sangat terjangkau. Kita malah sudah bosan makan ayam, lalu cari lauk yang lain.

Di akhir tahun 80-an, telepon seluler jadi lambang status sosial yang tinggi. Kalau ada pejabat menenteng Hp, rasanya sangat mewah dan canggih. Tetapi di tahun 2000 ke atas, semua orang pegang HP, mulai dari pengamen, pengemis, tukang sampah, bahkan tukang topeng monyet keliling pun punya, lebih dari satu bahkah. Hp sudah turun derajat tidak lagi jadi barang mewah.

Intinya saya hanya ingin mengatakan, bahwa kemewahan itu baru akan nampak nyata manakala kita melihat dari sudut pandang yang berbeda, khususnya dari kelas yang lebih rendah ke kelas yang lebih tinggi.

Apakah Kemewahan Haram?

Pertanyaan ini agak sulit dijawab secara singkat. Sebab di atas sudah dibahas bagaimana kemewahan itu sesuatu yang reltif. 

Ambil contoh seorang yang lahir di tengah keluarga kaya, pewaris tahta kerajaan keluarga dari perusahaan yang bonafide. Dia memang lahir sudah kaya, dan dia meneruskan bisnis keluarganya. Hidupnya punya standar dan level yang sejak lahir terbilang tinggi. Semua barang yang dipakainya bermerek dan berkelas.

Buat sosok orang seperti ini, semua itu tidak menjadi kemewahan lagi, karena sudah tiap hari sejak kecil dialaminya. 

Lantas apakah kita akan mengatakan bahwa dia tidak boleh menikmati hartanya itu, hanya gara-gara dianggap bermewah-mewahan? Apakah menikmati hartanya itu haram dan dosa? Dan apakah semua orang wajib hidup dengan style sebagai orang miskin?

Jawabannya tidak selalu harus seperti itu. Sebab Allah SWT memang membolehkan seseorang menjadi kaya dan menikmati kekayaannya. Dan suka pada sesuatu yang mahal dan bagus, pada hakikatnya merupakan fitrah yang Allah ciptakan buat manusia juga.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Dijadikan indah pada  manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak  dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
 . (QS. Ali Imrah : 14)

Kalau Kemewahan itu Boleh, Lantas Apa Yang Dilarang?
Kalau memang kemewahan itu ada yang dibolehkan, yang jadi pertanyaan adalah kapan kemewahan itu jadi haram? Sebab kita seringkali mendapatkan kisah teladan dimana para salafunasshalih di masa lalu cenderung meninggalkan kemewahan, dan hidup dengan bersahaja. Bahkan termasuk Nabi SAW sendiri pun hidupnya amat bersahaja.

Hidup mewah itu akan menjadi haram, manakala dijalani dengan salah satu dari cara-cara di bawah ini :

1. Didapat Dengan Cara Haram
Uang dan kekayaan yang didapat dari cara yang haram, tentu haram pula untuk dipakai dan dinikmati. Bagaimana dengan pejabat dan wakil rakyat? Apakah harta mereka itu halal?

Pejabat dan wakil rakyat memang punya gaji yang resmi dikeluarkan oleh negara. Cuma yang jadi masalah, di luar gaji resmi itu, ada begitu banyak 'selemperan' dan 'sabetan' yang nilainya jauh lebih tinggi. 

Kalau kita jujur menghitung, gaji resmi resmi mereka pasti tidak cukup untuk menopang gaya hidup mewah. Logikanya, pejabat yang jujur dan memperhatikan halal-haram pasti tidak bisa hidup mewah, mereka tidak akan mampu mengkoleksi rumah mewah, mobil mewah, jam tangan mewah dan semua yang mewah-mewah. Juga tidak akan mampu kawin lagi dan menambah terus koleksi istrinya.

Maka kalau kita lakukan pembuktian terbalik, sudah bisa dipastikan bahwa semua kemewahan itu didapat dari sumber-sumber yang tidak halal. Dan oleh karena itu maka gaya hidup mereka yang bermewahan itu bisa dipastikan keharamannya, karena didapat dari sumber yang haram juga.

Sayangnya di negeri kita, logika hukum dengan pembuktian terbalik ditolak mentah-mentah oleh hampir semua pejabat. Dan pembelaan mereka biasanya karena untuk bisa duduk di kursi jabatannya, modal yang harus dikeluarkan tidak sedikit. Kalau hanya mengharapkan dari gaji resmi, sudah pasti tidak cukup. 

Indonesia pernah mengalami masa ajaib, dimana sebagian pejabat dan wakil rakyatnya diiisi oleh orang-orang jujur dan baik hati, sampai bisa menolak rumah dinas yang sah, dan tidak makan gajinya yang halal. Yang halal saja ditolak karena takut fitnah, apalagi yang tidak halal.

Sayangnya, era seperti itu hanya sempat berjalan singkat sekali, bak hanya sekejap mata. Orang-orang jujur seperti itu sudah tersingkir jauh dan tidak ada lagi yang bisa menirunya hari ini. 

2. Niat Untuk Takabbur dan Menyombongkan Diri
Hidup mewah itu haram apabila niatnya semata-mata hanya ingin takabbur dan menyombongkan diri. Sifat takabbur dan sombong itu bukan sifat hamba yang beriman. Sifat takabbur dan sombong hanya hak Allah SWT semata.

Maka Nabi Sulaiman alaihissalam yang kaya raya itu pun sangat tawadhdhu'. Beliau mengatakan bahwa semua yang dimilikinya itu tidak lain hanya datang dari Allah SWT, sebagai ujian apakah dirinya bersyukur atau kufur.


هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ

Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari
. (QS. An-Naml : 40)

Dan lebih haram lagi apabila pada dasarnya seseorang tidak mampu, tetapi sok ingin bergaya dan berpenampilan seolah-olah dirinya dari kelas atas. Maka dia memaksakan diri dengan melakukan segalanya, tanpa memperhatikan lagi halal atau haram.

3. Tidak Berbagi
Hidup mewah itu haram, apabila seseorang tidak mengeluarkan dari sebagian hartanya buat orang-orang fakir dan miskin. 

Orang yang menimbun emas tetapi tidak mengeluarkan zakatnya di jalan Allah, maka akan disiksa nanti di hari akhir dengan jalan emas-emasnya itu akan dipanaskan, lalu ditempelkan pada dahi, punggung dan perut mereka.

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ 

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (QS. At-Taubah : 34) 

Yang dimaksud dengan emas dan perak adalah lambang dari kekayaan

 يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَـذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ 

Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu".(QS. At-Taubah : 35) 

Di dalam hadts yang terkenal, kita ditegur oleh Rasulullah SAW :

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائْعٌ إِلٰى جَنْبِهِ 
Tidaklah mukmin orang yang kenyang sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya. (HR. Hakim)
4. Hidup Semata Hanya Berlomba Mengejar Kemewahan
Hidup mewah tetapi bersyukur, tidak pamer, tidak sombong, dan peduli dengan fakir miskin dibolehkan. Dan hal itu amat jauh berbeda dengan hidup mengejar-ngejar kemewahan. 

Apalagi sampai saling berlomba untuk mengejar kekayaan, pamer kemewahan, dan tanpa henti terus menumpuk dan mengejar kekayaan. Semua itu tentu terlarang dan sudah diingatkan Allah SWT sejak awal.

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ 

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
 (QS. At-Takatsur : 1)

Yang Dianjurkan Meninggalkan Kemewahan
Lepas dari keharaman di atas, ada juga sisi lain dimana meski pun hidup mewah itu halal baginya, karena telah memenuhi hak-haknya, namun lebih utama untuk tidak hidup mewah.

Di antaranya adalah para ulama, para juru dakwah, para tokoh panutan umat, dan juga termasuk pejabat. Meski tidak mutlak wajib hidup sederhana, namun bila mereka bisa hidup dengan lebih bersahaja, maka pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan akan lebih mudah dicerna orang.

Seorang pejabat yang kemana-mana naik fasilitas mobil mewah, dilapisi lusinan bodyguard, masih ditambah lagi dengan barisan protokoler, tentu kurang populer di tengah masyarakat miskin dan kumuh. Apalagi sebelum lewat di suatu tempat, belum apa-apa areal itu sudah disterilkan terlebih dahulu, sehingga tak seorang miskin pun yang bisa bertemu dengan sang pejabat.

Bolehkah hal itu dilakukan?

Kalau bicara hitam putihnya mungkin boleh-boleh saja. Toh hal itu tidak melanggar hukum, dan protokoler negara mengharuskan.

Tetapi pemimpin yang lebih merakyat, kemana-mana naik kendaraan umum bersama rakyatnya, berbaju seperti bajunya rakyat, ikut antri bersama rakyatnya, makan di warung bersama rakyat, pasti akan ada di hati rakyatnya. Apalagi bila hal itu memang cerminan dari keseharian hidupnya, bukan sekedar pencitraan, tentu akan sangat disenangi rakyat.

Dan hal itu akan memudahkan tugasnya sebagai pemimpin rakyat. Kalau pun dia sedikit melakukan kesalahan, masih banyak yang membela. 

Tetapi pejabat yang sok bergaya mewah, dan tidak dekat dengan rakyatnya, tidak ada di hati rakyat, maka kalau dia melakukan kesalahan, rakyat akan dengan mudah membuli dan menghabisinya. Dan tamatlh sudah kecintaan rakyat kepadanya.

Semoga semua ini bisa jadi bahan instrospeksi kita semua, amin.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 



Sumber: Ahmad Sarwat, Lc., MA
http://www.rumahfiqih.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar