Jumat, 04 Januari 2013

Meluruskan Hikmah Shalat

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh



Di tengah umat Islam ada banyak berkembang kajian yang mengaitkan shalat dan tujuannya secara duniawi. Biasanya tujuan shalat secara dunia seringkali dikaitkan dengan kesehatan tubuh, ketenangan jiwa, kedisiplinan bahkan dengan sain.

A. Hikmah-hikmah Yang Sering Dipakai

Seringkali kita mendengar dan membaca ulasan tentang hikmah shalat, yaitu manfaat shalat secara ukuran duniawi. Diantara hikmah yang sering disinggung adalah kesehatan, olahraga, ketenangan jiwa, kedisiplinan dan juga mistik.


1. Kesehatan

Shalat dan kaitannya dengan kesehatan diungkapkan salah satunya dalam desertasi doktor yang ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Soleh yang berjudul “Pengaruh Shalat Tahajud terhadap Peningkatan Perubahan Respon Ketahanan Tubuh Imonologik: Suatu Pendekatan Neuroimunologi”.

Dalam disertasi itu dijelaskan bahwa tiap gerakan shalat ternyata punya nilai dan manfaat tersendiri dari sisi kesehatan.
Misalnya gerakan sujud. Sujud menurut disertasi ini adalah latihan kekuatan otot tertentu, termasuk otot dada. Saat sujud, beban tubuh bagian atas ditumpukan pada lengan hingga telapak tangan. Saat inilah kontraksi terjadi pada otot dada, bagian tubuh yang menjadi kebanggaan wanita. Payudara tak hanya menjadi lebih indah bentuknya tetapi juga memperbaiki fungsi kelenjar air susu di dalamnya.

Masih dalam posisi sujud, manfaat lain yang bisa dinikmati kaum hawa adalah otot-otot perut (rectus abdominis dan obliqus abdominis externus) berkontraksi penuh saat pinggul serta pinggang terangkat melampaui kepala dan dada. Kondisi ini melatih organ di sekitar perut untuk mengejan lebih dalam dan lebih lama yang membantu dalam proses persalinan. Karena di dalam persalinan dibutuhkan pernapasan yang baik dan kemampuan mengejan yang mencukupi.
Bila otot perut telah berkembang menjadi lebih besar dan kuat, maka secara alami, otot ini justru menjadi elastis.
Kebiasaan sujud menyebabkan tubuh dapat mengembalikan dan mempertahankan organ-organ perut pada tempatnya kembali (fiksasi).

2. Olahraga

Sebagian orang ada yang berupaya untuk 'memperkosa' ibadah shalat menjadi gerakan-gerakan yang terkait dengan olahraga. Gerakan-gerakan shalat yang asalnya dari ketentuan Allah SWT itu dikupas dan dijelaskan manfaatnya sesuatu dengan tujuan olahraga.

Misalnya gerakan berdiri tegak, diasumsikan akan meluruskan tulang belakang dan melancarkan aliran darah.
Atau gerakan ruku' yang membungkuk, akan mengencangkan otot-otot pada punggung. Atau posisi sujud akan mengalirkan lebih banyak darah ke kepala dan seterusnya.
Dalam kasus tertentu secara kebetulan bisa saja kita terima penjelasan itu. Namun jangan sampai kita salah arah, sehingga beranggapan bahwa tujuan shalat itu adalah berolahraga dan meregangkan otot-otot yang kaku. Sebab Allah SWT dan Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah mengaitkan shalat dan olah raga, baik secara eksplisit atau pun secara implisit. 

Yang dikhawatirkan adalah apabila ada ketidak-sesuaian aturan dalam gerakan dan posisi shalat dengan aturan dalam berolah-raga. Maka akan terjadi kebingungan, manakah dari keduanya yang harus diikuti.
Dan akan menjadi fatal akhirnya ketika gerakan dan posisi shalat yang datang dari nash-nash syariah harus 'dikalahkan' dengan ketentuan yang berlaku dalam dunia olahraga.
Sayangnya, kita justru lebih sering mendengar hal seperti ini dalam kenyataannya. Sehingga ritual shalat berubah acuannya dari wahyu kepada semata-mata logika olahraga.

3. Ketenangan Jiwa

Sebagian dari umat Islam ada yang mengaitkan antara shalat dan kondisi jiwa seseorang. Seolah-olah ingin
memaksakan bahwa di antara manfaat shalat itu menyebabkan jiwa menjadi tenang. 
Padahal ketenangan jiwa yang dimaksud ternyata hanyahasil adaptasi dari praktek-praktek kontemplasi dan yoga. Keduanya dicoba dikawinkan dengan gerakan-gerakan shalat, yang seharusnya murni bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. 

Berbagai gerakan dan posisi shalat disebut-sebut mengandung unsur tertentu, yang dapat membantu agar seseorang bisa melakukan kontemplasi. Shalat yang benar dikatakan apabila bisa benar-benar mengosongkan pikiran.
Sayang sekali kemudian banyak orang yang terpana dengan cara-cara seperti ini. Dan apa yang dikhawatirkan kemudian terjadi, yaitu shalat akhirnya mengalami perubahan bentuk dari aslinya menjadi tapa dan yoga. 

Padahal Islam tidak pernah memerintahkan umatnya untuk mengosongkan pikiran, apalagi dalam shalat. Sebab kalau pikiran kososng dalam shalat, yang terjadi malah lupa apa yang sedang dikerjakan. Padahal shalat itu tidak lain merupakan aktifitas dzikir dan fikir, karena di dalam shalat kita membaca lafadz-lafadz wahyu yang Allah turunkan, dimana lafadz itu bukan mantera untuk mengosongkan pikiran, melainkan hukum
dan ketentuan Allah SWT. Kalau pikiran jadi kosong, maka shalatnya menjadi rusak.

Ada juga yang meyakini bahwa shalat harus bisa membuat orang jadi lupa akan rasa sakit di badan. Dan yang menjadi korban biasanya adalah mitos yang dikaitkan dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu. Konon dikabarkan bahwa ketika terkena anak panah yang menancap di tubuhnya dalam perang, beliau melakukan shalat dua rakaat dengan khusyu', sehingga ketika anak panah itu dicabut, beliau tidak merasakan sakit sedikit pun.

Tentu hal itu sama sekali tidak berdasar pada nash-nash syariat Islam. Sebab selain hadits itu palsu dan tidak jelas sumbernya, jutru Rasulullah SAW ketika shalat sangat tahu keadaan di sekelilingnya. Beliau SAW memperlama sujud ketika tahu cucunya naik di atas punggungnya, namun beliau SAW mempercepat shalatnya ketika mendengar tangis bayi.
Kalau Rasulullah SAW shalat dan tidak ingat apa-apa, tidak mungkin beliau memperlama sujud atau mempercepat shalatnya.

4. Kedisiplinan

Sebagian orang mengaitkan hikmah shalat kedisiplinan. Diantara manfaat shalat adalah melatih kedisiplinan para jamaah, dimana shalat jamaah merupakan model pelatihan untuk membentuk watak kedisiplinan.
Di antaranya disiplin waktu, karena setiap shalat fardhu sudah punya waktu masing-masing. Sehingga apabila dijalankan dengan benar, maka shalat itu menjad sarana mendisiplinkan diri. Secara subjektif, boleh saja seseorang mengaku mendapatkan hikmah dari shalat berupa kedisiplinan waktu.

Tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa arti dan maksud dari shalat adalah agar seorang muslim bisa berdisiplin dalam mengatur waktunya.
Sebab ada sedemikian banyak orang yang disiplin dalam waktunya, bukan karena rajib shalat. Sebaliknya, banyak orang yang disiplin menjalankan shalatnya, tapi kurang disiplin dalam masalah waktunya.

Maka harus diakui bahwa sesungguhnya tidak ada hubungan apapun antara aktifitas shalat sebagai ibadah dengan tingkat kedisiplinan pelakunya.

5. Mistik

Ada lagi orang yang mengait-ngaitkan shalat ini dengan apa yang mereka sebut dengan sain, walaupun sebenarnya justru sama sekali bukan sain melainkan mistik. Misalnya Prof. Riset. DR. Ir. H. Osly Rachman, MS. dalam bukunya, “The Science of Shalat”.

Dalam buku itu, penulisnya menyampaikan apa yang belum pernah ditulis oleh siapa pun di dunia ini tentang kaitan waktu waktu shalat dengan apa yang disebutnya sebagai sain.
Seolah-olah ada kesan bahwa ibadah shalat itu sangat ilmiyah, karena ada kecocokan dengan dunia sain modern. Sayangnya, kalau kita telusuri lebih dalam, lama-lama dahi kita jadi berkerut-kerut, karena apa yang dikatakannya sebagai sain ternyata sangat jauh dari kenyataan.

Menurutnya setiap peralihan waktu shalat, bersamaan dengan terjadinya perubahan energi alam yang dapat diukur dan dirasakan melalui perubahan warna alam. Ini aneh di telinga kita, apa yang dimaksud dengan energi alam?
Kita mengenal energi yang bersumber dari alam, misalnya minyak bumi, batu bara, gas dan sebagainya. Tetapi energi alam berupa perubahan warna alam? Dunia sain yang sesungguhnya tidak pernah mengenal istilah aneh itu. 

Menurut buku itu, konon pada waktu subuh, alam berada dalam spektrum warna biru muda yang bersesuaian dengan frekuensi tiroid (kelenjar gondok), maka orang yang tidak bangun shubuh memiliki pengaruh terhadap sistem metabolisme tubuh manusia, rezeki dan cara berkomunikasi.

Mereka yang masih tertidur pulas pada waktu subuh akan menghadapi masalah rezeki dan komunikasi, karena tiroid tidak dapat menyerap tenaga biru muda di alam ketika ruh dan jasad masih tertidur.
Tentu asumsi ini perlu dikritisi, kalau mau dikaitkan dengan sain. Apa benar orang yang tidak shalat shubuh akan mengalam masalah dengan metobolisme tubuh? 
Bukankah semilyar orang di China yang komunis itu tidak pernah shalat, adakah data bahwa seluruh penduduk RRC itu mengalami masalah dengan metabolisme tubuh?

Buku itu juga menjelaskan bahwa ketika memasuki waktu zhuhur, warna alam menguning dan berpengaruh terhadap perut dan sistem pencernaan, hati dan keceriaan seseorang. Jadi, mereka yang selalu ketinggalan atau melewatkan shalat zhuhur berulang-ulang kali akan menghadapi masalah dalam sistem
pencernaannya serta berkurang keceriaannya. Aneh sekali kalau dikatakan warna alam menguning. 
Alam itu luas, terdiri dari daratan, lautan, atmosfir bahkan angkasa luar. Alam yang mana yang berwarna kuning? Lalu apa hubungannya dengan sistem pencernaan, hati dan keceriaan seseorang?
Dan masih banyak lagi asumsi-asumsi yang dikait-kaitkan dengan shalat dan mistik serta tahayul dalam buku itu.

B. Terjebak Hikmah

Dalam pandangan syariat Islam, shalat tidak pernah dikaitkan dengan hikmah dan manfaat secara duniawi. Sebab shalat semata-mata hanya ibadah ritual, dimana Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah telah menetapkan teknis detail tata cara kita menyembah-Nya. 
Meski pun kita tidak menampik bahwa boleh saja secara kebetulan, ketika seseorang mengerjakan ibadah shalat, dia mendapatkan keuntungan yang bersifat duniawi.

Ada juga orang yang ketika mengerjakan shalat, rasa kantuknya menjadi hilang. Hal itu karena sebelum shalat dia berwudhu dan membasuh wajahnya dengan air. Pantas saja rasa kantuknya hilang. Namun bukan berarti kita boleh menyimpulkan bahwa shalat adalah obat yang bisa mengusir rasa kantuk.
Dan dalam kasus tertentu, karena terlihat rajin shalat ke masjid oleh calon mertua, akhirnya pinangan diterima dengan tangan terbuka. Namun kita tidak boleh membuat kesimpulan bahwa salah satu hikmah shalat adalah melunturkan hati calon mertua.

Tujuan kita mengerjakan shalat harus bersih, tidak diliputi dengan tujuan-tujuan yang dibuat-buat, atau dikait-kaitkan dengan hikmah duniawi. Tujuan shalat semata-mata hanya menuruti kemauan Allah SWT dalam rangka beribadah kepada-Nya, sesuai dengan prosedur yang telah Dia tetapkan.

1. Memberi Semangat dan Motivasi

Ada sebagian kalangan yang sering berargumen bahwa tujuan dari menyebutkan banyak hikmah shalat adalah agar bisa memberikan semacam motivasi kepada mereka yang masih suka malas dalam mengerjakan shalat. Niatnya memang mulia, yaitu agar mereka berubah jadi rajin shalat. Namun kalau caranya kurang tepat, justru dikhawatirkan malah akan jadi bumerang kepada diri sendiri.

Memotivasi orang untuk rajin shalat tentu bukan dengan cara mengiming-imingi dengan hikmah-hikmah duniawi. Sebab yang namanya hikmah sifatnya sangat relatif, kadang benar dan kadang tidak benar.
Siapa yang bisa menjamin bahwa dengan membiasakan diri mengerjakan shalat berjamah, maka akan hal itu akan melahirkan sikap disiplin?
Belum tentu juga hasilnya seperti ini. Buktinya, bangsa Arab adalah bangsa yang paling tidak disiplin di dunia ini, padahal mereka tiap hari shalat berjamaah.

2. Mencari Popularitas

Selain bertujuan untuk memberi semangat agar orang rajin mengerjakan shalat, juga ada tujuan sekedar untuk mendapatkan popularitas diri atas apa yang disampaikan.
Seolah-olah bila mampu memberikan statemen yang belum pernah orang sampaikan sebelumnya, maka ada semacam kebanggaan tersendiri, karena bisa berbeda dengan yang lain.
Dan tentu saja menjadi populer, sehingga kemudian bisa dijadikan komoditas yang dijual kepada khalayak, baik berupa buku, paket pelatihan, dan tayangan di media.
Ujung-ujungnya, pelajaran shalat dengan cara seperti itu hanya dijadikan alat untuk mendatangkan popularitas danmateri semata.

C. Shalat Berdasarkan Tuntunan

Namun yang menjadi pertanyaan penting adalah : apakah semua kaitan antara shalat dengan kesehatan atau tujuan-tujuan lainnya itu bisa diterima dalam syariat Islam?
Dan apakah menjadi tugas kita untuk mencari manfaat dan hikmah di balik tiap gerakan ritual shalat?
Dan bisakah semua itu dipertanggung-jawabkan sebagai bagian dari ilmu tentang shalat, ataukah sifatnya hanya manfaat yang bersifat subjektif dan kebetulan saja?

Sebenarnya gerakan shalat dan juga bacaannya merupakan tata cara peribadatan yang bersifat ritual, turun dari langit dibawa oleh Malaikat Jibril ‘alaihissalam, sebagai paket amanat yang harus dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan ummatnya.

Kejadiannya setelah malam sebelumnya, Rasulullah SAW menerima perintah prinsip shalat lima waktu dalam peristiwa mikraj ke Sidratil Muntaha.

Ketika mengajarkan gerakan dan bacaan shalat itu, Jibril tidak memberi keterangan apapun tentang makna atau rahasia di balik gerakan dan ucapan di dalam shalat. Jibril hanya memberi contoh kepada Rasulullah SAW berbagai gerakan itu seperti berdiri, bersedakep, ruku’, i’tidal, sujud, duduk di antara dua sujud atau duduk tahiyat.
Dan Rasulullah SAW sebagai penerima paket ritual ibadah shalat, juga tidak bertanya tentang makna gerakan-gerakan itu. 
Beliau hanya menirukan apa yang diajarkan Jibril apa adanya saja, tanpa ada satu pun penjelasan. Hingga beliau SAW wafat, tidak pernah terlontar dari mulut beliau tentang makna gerakan dan posisi tubuh saat shalat.

Para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim kemudian mengerjakan gerakan shalat sebagaimana mereka melihat beliau SAW mengerjakannya. Namun dari 124.000 orang shahabat, tidak satu pun dari mereka yang kemudian mencoba-coba sambil iseng untuk memaknai gerakan dan posisi shalat itu.
Bahkan sampai 14 abad kemudian umat Islam di seluruh permukaan bumi ini mengerjakan shalat, tidak ada satu pun yang mencari-cari atau mengarang-ngarang sendiri tentang makna dan posisi tubuh dalam shalat.

1. Tidak Ada Rahasia

Pada hakikatnya gerakan shalat itu tidak boleh dicarikan makna atau rahasia, karena memang tidak pernah ada penjelasan dari Allah SWT untuk itu. Karena gerakan itu semata-mata merupakan gerakan ritual yang merupakan ketetapan dari Allah, dimana Dia hanya mau disembah hanya dengan cara itu. Allah SWT sama sekali tidak memberikan penjelasan atau pun alasan tentang makna-maknanya. 


Perbedaan paling nyata antara agama Islam dengan agama lain adalah masalah originalitas. Alasan kita untuk tetap memeluk Islam adalah karena hanya Islam saja agama yang masih utuh terjaga orisinalitasnya, tidak tercampur dengan unsur kreasi dan rekayasa manusia.

Agama samawi yang pernah Allah turunkan sudah cukup banyak, bahkan tidak kurang 124.000 Nabi dan rasul telah diutus. Tapi nyaris tak satu pun yang selamat dari penodaan tangan-tangan manusia, termasuk penyelewengan dan pemutarbalikan.

Maka ketika Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW, semua agama yang pernah diturunkan sebelumnya dibatalkan dan tidak berlaku lagi. Cukup satu agama saja yang berlaku dan cukup satu Nabi saja yang dijadikan rujukan, yatiu agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Apa yang diajarkan oleh beliau, maka itulah agama Islam.
Sebaliknya, apa yang tidak beliau ajarkan, berarti hal itu bukan bagian dari agama Islam.
Gerakan shalat yang kita lakukan setiap hari tidak lain adalah gerakan yang beliau ajarkan. Asal gerakan-gerakan itu bersumber dari Allah SWT, yang disampaikan melalui malaikat Jibril alaihissalam.

Rasulullah SAW diminta memperhatikan tata cara gerakan shalat yang didemonstrasikan oleh malaikat yang paling mulia itu, kemudian beliau SAW mengikuti gerakan-gerakan itu dengan seksama.
Setelah itu, barulah di depan para shahabat, beliau mempraktekkan gerakan-gerakan shalat yang baru saja beliau saksikan langsung dengan kedua bola mata beliau dari gerakan malaikat Jibril. Para shahabat diminta untuk memperhatikandengan seksama, seraya beliau bersabda,

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ

"Shalatlah kalian seperti apa yang telah kalian lihat aku shalat". (HR. Ibnu Hibban)

Maka seluruh shahabat menjalankan gerakan shalat persis sebagaimana mereka melihat dan menyaksikan langsung Rasulullah SAW melakukannya.
Gerakan-gerakan itu adalah ritual ibadah yang asli dan original, datang langsung dari Sang Pencipta alam semesta, Allah SWT. Diturunkan sebagai tata cara ritual bagaimana cara menyembah-Nya. Dan Allah SWT hanya ridha kalau disembah dengan cara demikian.

Seandainya gerakan-gerakan itu diganti, atau dimodifikasi, atau dikarang-karang sendiri oleh otak manusia, sudah bisa dipastikan bahwa Allah SWT tidak akan ridha. Bahkan meski seseorang berniat untuk mempersembahkan sebuah koreografi gerakan peribadatan yang dahsyat, tetap saja Allah SWT tidak akan menerimanya sebagai bentuk peribadatan.

Sebab Allah SWT sudah menetapkan kehendak-Nya. Dia tidak mau disembah kecuali dengan gerakan-gerakan ritual khusus yang Dia sendiri menentukannya.

Walhasil, gerakan-gerakan itu memang semata-mata gerakan 'magis', yang kita tidak pernah tahu kenapa harus demikian. Allah SWT ketika memerintahkan gerakan-gerakan itu kepada Nabi-Nya lewat Jibril, tidak menyertakan rahasia atau makna, apalagi manfaat dari semua itu.

2. Hasil Imajinasi

Maka siapa pun yang mencoba untuk mencari makna, apalagi mengaku-ngaku mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik semua gerakan itu, kita sepakat bahwa pastilah semua itu hanya dusta penuh hayal yang cuma sekedar hasil imajinasi otak manusia. 


Wajar bila tidak diridhai Allah SWT, bahkan sebaliknya, malah mendatangkan murka dari-Nya, karena telah mencampuri apa yang menjadi hak dan wewenang Allah.
Itulah perbedaan paling prinsipil antara ritual ibadah dalam Islam dengan ritual ibadah dalam agama paganis para penyembah berhala. Tata cara ibadah ritual dalam Islam telah diatur sedemikian rupa langsung oleh Allah, dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, tanpa sedikit pun campur tangan
kretifitas manusia.

Sedangkan ritual ibadah agama selain Islam, baik yang dilakukan oleh kalangan penyembah berhala, atau pun agama samawi lain yang sudah tidak berlaku lagi, mereka dengan sepenuh kreatifitas imajinatif, serta dengan luapan hayal yang tinggi, berlomba-lomba menciptakan berbagai macam bentuk ritual peribadatan.

Tentu saja sembari berusaha memaknai setiap gerakan ritual itu, tentu sesuai dengan nafsu, rasa, cara pandang, dan selera masing-masing. Agama-agama itu hanyalah sesuatu yang diciptakan oleh tangan-tangan kreatif manusia, persis seperti seni budaya yang merupakan hasil akal budi. Ibarat pencak silat, dimana sang suhu menciptakan berbagai macam kreasi jurus, semua adalah hasil pemikiran akal. Tiap jurus memang mengandung makna tertentu.

Semua itu tidak berlaku pada ritual ibadah shalat dalam Islam. Tidak ada satu pun yang berhak menjelaskan rahasia dan makna di balik tiap gerakan shalat, karena gerakan-gerakan itu memang bukan untuk diterjemahkan maknanya. Gerakan itu untuk dijalankan sebagai bentuk perintah dalam beribadah.



Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh



Sumber: Seri Fiqih Kehidupan 

Penulis: Ahmad Sarwat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar